Secara fitrah manusia,
pastilah senang jika dirinya dipuji. Saat pujian datang -apalagi dari seseorang
yang istimewa dalam pandangannya- tentulah hati akan bahagia jadinya.
Berbunga-bunga, bangga, senang. Itu manusiawi. Namun hati-hatilah duhai
saudariku, jangan sampai riya’ menghiasi amal ibadah kita karena di setiap amal
ibadah yang kita lakukan dituntut keikhlasan.
Niat yang ikhlas
amatlah diperlukan dalam setiap amal ibadah karena ikhlas adalah salah satu
syarat diterimanya suatu amal di sisi Allah. Sebuah niat dapat mengubah amalan
kecil menjadi bernilai besar di sisi Allah dan sebaliknya, niatpun mampu
mengubah amalan besar menjadi tidak bernilai sama sekali.
Kali ini, kita tidak
hendak membahas tentang ikhlas melainkan salah satu lawan dari ikhlas, yaitu
riya’.
Hudzaifah Ibnu Yaman
pernah berkata:
“Orang-orang bertanya
pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang baik sedangkan aku
bertanya kepada beliau tentang hal-hal jelek agar aku terhindar dari kejelekan
tersebut.” (HR Bukhari dan Muslim)
Secara bahasa, riya’
berasal dari kata ru’yah (الرّؤية), maknanya
penglihatan. Sehingga menurut bahasa arab hakikat riya’ adalah orang lain
melihatnya tidak sesuai dengan hakikat sebenarnya.
Al Hafizh Ibnu Hajar
menyatakan, “Riya’ ialah menampakkan ibadah dengan tujuan agar dilihat manusia,
lalu mereka memuji pelaku amal tersebut.”
Pernahkah ukhti
mendengar tentang sum’ah? Sum’ah berbeda dengan riya’, jika riya’ adalah
menginginkan agar amal kita dilihat orang lain, maka sum’ah berarti kita ingin
ibadah kita didengar orang lain. Ibnu Hajar menyatakan: “Adapun sum’ah sama
dengan riya’. Akan tetapi ia berhubungan dengan indera pendengaran (telinga)
sedangkan riya’ berkaitan dengan indera penglihatan (mata).”
Jadi, jika seorang
beramal dengan tujuan ingin dilihat, misalnya membaguskan dan memperlama shalat
karena ingin dilihat orang lain, maka inilah yang dinamakan riya’. Adapun jika
beramal karena ingin didengar orang lain, seperti seseorang memperindah bacaan
Al Qur’annya karena ingin disebut qari’, maka ini yang disebut sebagai sum’ah.
Bahaya
Riya’
Ketahuilah wahai
saudariku, bahwa riya’ termasuk ke dalam syirik asghar/kecil. Ia dapat
mencampuri amal kita kemudian merusaknya.
Amalan yang dikerjakan
dengan ikhlas akan mendatangkan pahala. Lalu bagaimana dengan amalan yang
tercampur riya’? Tentu saja akan merusak pahala amalan tersebut. Bisa merusak
salah satu bagiannya saja atau bahkan merusak keseluruhan dari pahala amalan
tersebut.
Berikut ini beberapa
bentuk riya’:
Riya’ yang mencampuri
amal dari awal hingga akhir, maka amalannya terhapus.
Misalnya seseorang
yang hendak mengerjakan shalat lalu datang seseorang yang ia kagumi. Kemudian
ia shalat dengan bagus dan khusyu’ karena ingin dilihat orang tersebut. Riya’
tersebut ada dari awal hingga akhir shalatnya dan ia tidak berusaha untuk
menghilangkannya, maka amalannya terhapus.
Riya’ yang muncul
tiba-tiba di tengah-tengah amal dan dia berusaha untuk menghilangkannya
sehingga riya’ tersebut hilang, maka riya’ ini tidak mempengaruhi pahala
amalannya. Misalnya seseorang yang shalat kemudian muncul riya’ di
tengah-tengah shalatnya dan ia berusaha untuk menghilangkannya sehingga riya’
tersebut hilang, maka riya’ tersebut tidak mempengaruhi ataupun merusak pahala
shalat tersebut.
Riya’ muncul tiba-tiba
di tengah-tengah namun dibiarkan terus berlanjut, maka ini adalah syirik asghar
dan menghapus amalannya. Namun dalam kondisi ini ulama berselisih pendapat
tentang amalan mana yang terhapus, misalnya riya’ dalam shalat. Apakah rakaat
yang tercampuri riya’ saja yang terhapus ataukah keseluruhan shalatnya?
Pendapat pertama
menyatakan bahwa yang terhapus hanyalah pada amalan yang terkait. Pendapat
kedua, yaitu perlu dirinci:
Kalau amalannya
merupakan satu rangkaian dan tidak mungkin dipisahkan satu dengan yang lain,
misalnya shalat dhuhur empat rakaat, maka terhapus rangkaian amal tersebut.
Kalau amalannya bukan
merupakan satu rangkaian, maka amal yang terhapus pahalanya adalah sebatas yang
tercampuri saja. Misalnya seseorang yang bersedekah kepada sepuluh orang anak
yatim. Saat bersedekah pada anak kesatu sampai yang kelima ia ikhlas. Akan tetapi
riya’ muncul saat ia bersedekah pada anak ke-enam, maka pahala yang terhapus
adalah sedekah pada anak ke-enam. Contoh yang serupa adalah puasa.
Riya’ itu Samar
Pada asalnya, manusia
memiliki kecenderungan ingin dipuji dan takut dicela. Hal ini menyebabkan riya’
menjadi sangat samar dan tersembunyi. Terkadang, seorang merasa telah beramal
ikhlas karena Allah, namun ternyata secara tak sadar ia telah terjerumus
kedalam penyakit riya’.
Saudariku, pernahkah
engkau mendengar langkah laki seekor semut? Suara langkahnya begitu samar
bahkan tidak dapat kita dengar. Seperti inilah Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam menggambarkan kesamaran riya’. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Kesyirikan itu lebih
samar dari langkah kaki semut.” Lalu Abu Bakar bertanya, “Wahai Rasulullah,
bukankah kesyirikan itu ialah menyembah selain Allah atau berdoa kepada selain
Allah disamping berdoa kepada selain Allah?” maka beliau bersabda.”Bagaimana
engkau ini. Kesyirikan pada kalian lebih samar dari langkah kaki semut.” (HR
Abu Ya’la Al Maushili dalam Musnad-nya, tahqiq Irsya Al Haq Al Atsari, cetakan
pertama, tahun 1408 H, Muassasah Ulum Al Qur’an, Beirut, hlm 1/61-62.
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Targhib, 1/91)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam mengkhawatirkan bahaya riya’ atas umat Islam melebihi
kekhawatiran beliau terhadap bahaya Dajjal. Disebutkan dalam sabda beliau:
“Maukah kalian aku beritahu sesuatu yang lebih aku takutkan menimpa kalian
daripada Dajjal.” Kami menyatakan, “Tentu!” beliau bersabda “Syirik khafi
(syirik yang tersembunyi). Yaitu seseorang mengerjakan shalat, lalu ia baguskan
shalatnya karena ia melihat ad seseorang yang memandangnya.”
Hal ini tidak akan
terjadi, kecuali karena faktor pendukung yang kuat. Yaitu karena setiap manusia
memiliki kecenderungan ingin mendapatkan pujian, kepemimpinan dan kedudukan
tinggi di hadapan orang lain.
Bentuk
Riya’
Wahai ukhti muslimah,
didalam mencapai tujuannya, para mura’i (orang yang riya’) menggunakan banyak
jalan, diantaranya sebagai berikut:
Dengan tampilan fisik,
yaitu seperti menampilkan fisik yang lemah lagi pucat dan suara yang sangat
lemah agar dianggap sebagai orang yang sangat takut akhirat atau rajin
berpuasa.
Dengan penampilan,
yaitu seperti membiarkan bekas sujud di dahi dan pakaian yang seadanya agar
tampil seperti ahli ibadah. Ketika menjelaskan QS Al Fath, dalam Hasyiah Ash
Shawi 4/134 disebutkan, “Yang dimaksud ‘bekas sujud’ bukanlah hitam-hitam di
dahi sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang bodoh yang ingin riya’ karena
hitam-hitam di dahi merupakan perbuatan khawarij.”
Dengan perkataan,
yaitu seperti banyak memberikan nasehat, menghafal atsar (riwayat salaf) agar
dianggap sebagai orang yang sangat memperhatikan jejak salaf.
Dengan amal, yaitu
seperti memperlama rukuk dan sujud ketika shalat agar tampak khusyu’ dan
lain-lain.
Kiat
Mengobati Penyakit Riya’
Wahai saudariku,
setiap insan tidak akan pernah lepas dari kesalahan. Sebaik-baik orang yang
melakukan kesalahan adalah yang bertaubat kepada Allah atas kesalahan yang
pernah dilakukannya.
Hati manusia cepat
berubah. Jika saat ini beribadah dengan ikhlas, bisa jadi beberapa saat
kemudian ikhlas tersebut berganti dengan riya’. Pagi ikhlas, mungkin sore sudah
tidak. Hari ini ikhlas, mungkin esok tidak. Hanya kepada Allahlah kita memohon
agar hati kita diteguhkan dalam agama ini. َ
Selain itu, hendaknya
kita berusaha untuk menjaga hati agar terhidar dari penyakit riya’. Saudariku,
inilah beberapa kiat yang dapat kita lakukan agar terhindar dari riya’:
1.
Memohon dan selalu berlindung kepada Allah agar mengobati penyakit riya’
Riya’ adalah penyakit
kronis dan berbahaya. Ia membutuhkan pengobatan dan terapi serta bermujahadah
(bersungguh-sungguh) supaya bisa menolak bisikan riya’, sambil tetap meminta
pertolongan Allah Ta’ala untuk menolaknya. Karena seorang hamba selalu
membutuhkan pertolongan dan bantuan dari Allah. Seorang hamba tidak akan mampu
melakukan sesuatu kecuali dengan bantuan dan anugerah Allah. Oleh karena itu,
untuk mengobati riya’, seorang selalu membutuhkan pertolongan dan memohon
perlindungan kepada-Nya dari penyakit riya’ dan sum’ah. Demikian yang diajarkan
Rasulullah dalam sabda beliau:
“Wahai sekalian
manusia, peliharalah diri dari kesyirikan karena ia lebih samar dari langkah
kaki semut.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana cara kami memelihara
diri darinya padahal ia lebih samar dari langkah kaki semut?” beliau menjawab,
“Katakanlah:
اللّهُمَّ
إِنَّانَعُوْذُبِكَ
مِنْ
أََنْ
نُشْرِكَ
بِكَ
شَيْئًانَعْلَمُهُ
وَنَسْتَغْفِرُكَ
لِمَا
لاَ
نَعْلَمُ
‘Ya Allah, kami
berlindung kepada-Mu dari perbuatan syirik yang kami ketahui. Dan kami mohon
ampunan kepada-Mu dari apa yang tidak kami ketahui.’” (HR. Ahmad)
2.
Mengenal riya’ dan berusaha menghindarinya
Kesamaran riya’
menuntut seseorang yang ingin menghindarinya agar mengetahui dan mengenal
dengan baik riya’ dan penyebabnya. Selanjutnya, berusaha menghindarinya.
Adakalanya seorang itu terjangkit penyakit riya’ disebabkan ketidaktahuan dan
adakalanya karena keteledoran dan kurang hati-hati.
3.
Mengingat akibat jelek perbuatan riya’ di dunia dan akhirat
Duhai saudariku di
jalan Allah, sifat riya’ tidaklah memberikan manfaat sedikitpun, bahkan
memberikan madharat yang banyak di dunia dan akhirat. Riya’ dapat membuat
kemurkaan dan kemarahan Allah. Sehingga seseorang yang riya’ akan mendapatkan
kerugian di dunia dan akhirat.
4.
Menyembunyikan dan merahasiakan ibadah
Salah satu upaya
mengekang riya’ adalah dengan menyembunyikan amalan. Hal ini dilakukan oleh
para ulama sehingga amalan yang dilakukan tidak tercampuri riya’. Mereka tidak
memberikan kesempatan kepada setan untuk mengganggunya. Para ulama menegaskan
bahwa menyembunyikan amalan hanya dianjurkan untuk amalan yang bersifat sunnah.
Sedangkan amalan yang wajib tetap ditampakkan. Sebagian dari ulama ada yang
menampakkan amalan sunnahnya agar dijadikan contoh dan diikuti manusia. Mereka
menampakkannya dan tidak menyembunyikannya, dengan syarat merasa aman dari
riya’. Hal ini tentu tidak akan bisa kecuali karena kekuatan iman dan keyakinan
mereka.
5.
Latihan dan mujahadah
Saudariku, ini semua
membutuhkan latihan yang terus menerus dan mujahadah (kesungguhan) agar jiwa
terbina dan terjaga dari sebab-sebab yang dapat membawa kepada perbuatan riya’
bila tidak, maka kita telah membuka pintu dan kesempatan kepada setan untuk menyebarkan
penyakit riya’ ini ke dalam hati kita.
Belajar
dari Para Salaf
Duhai muslimah,
berikut ini adalah kisah salaf yang menunjukkan betapa mereka menjaga diri dari
riya’ dan sum’ah. Mereka tidak menginginkan ketenaran dan popularitas. Justru
sebaliknya, mereka ingin agar tidak terkenal. Mereka memelihara keikhlasan,
mereka takut jika hati mereka terkena ujub (bangga diri).
Abu Zar’ah yahya bin
Abu ‘Amr bercerita: Pernah Adh-Dhahhak bin Qais keluar untuk memohon hujan
bersama-sama dengan orang-orang, tapi ternyata hujan tidak turun dan beliau
juga tidak melihat awan. Beliau berkata: “Dimana gerangan Yazid bin Al Aswad?”
(dalam satu riwayat: tidak seorang pun yang menjawab pertanyaan beliau. Beliau
pun bertanya lagi: “Dimana Yazid bin Al Aswad Al Jurasyi? Jika beliau
mendengar, saya sangat berharap beliau berdiri.”) “Ini saya”, seru Yazid.
“Berdirilah dan tolonglah kami ini di hadapan Allah. Jadilah kamu perantara(*)
kami agar Allah menurunkan hujan kepada kami.”, kata Adh-Dhahhak bin Qais.
Kemudian Yazid pun berdiri seraya menundukkan kepala sebatas bahu serta
menyingsingkan lengan baju beliau kemudian berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya
hamba-hamba-Mu ini memohon syafaatku kepada-Mu.” Beliau berdoa tiga kali dan
seketika itu pula turunlah hujan yang sangat deras sehingga hampir terjadi
banjir. Kemudian beliau pun berkata: “Sesungguhnya kejadian ini membuat saya
dikenal banyak orang. Bebaskanlah saya dari keadaan seperti ini.” Kemudian
hanya berselang satu hari, yaitu Jum’at setelah peristiwa itu beliau pun wafat.
(Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fasawi (2/239-pada penggal yang terakhir).
Atsar ini shahih).
(*) Dalam keadaan ini,
meminta perantara dalam berdo’a diperbolehkan, karena Yazid bin Al Aswad Al
Jurasyi yang menjadi perantara masih dalam keadaan hidup, dan beliau adalah
seorang yang shaleh. Bedakan dengan keadaan orang-orang yang berdo’a meminta
kepada orang yang dianggap shaleh yang sudah meninggal dunia di kubur-kubur
mereka! dan ini merupakan Syirik Akbar yang membuat pelakunya kekal di neraka jika
belum bertaubat. -ed
Berkata Hammad bin
Zaid rahimahullah: “Saya pernah berjalan bersama Ayyub tapi beliau melewati
jalan-jalan yang membuat diriku heran dan bertanya-tanya kenapa beliau sampai
berbuat seperti ini (berputar-putar melewati beberapa jalan). Ternyata beliau
berbuat seperti itu karena beliau tidak mau orang-orang mengenal beliau dan
berkata: ‘Ini Ayyub, ini Ayyub! Ayyub datang, Ayyub datang!’” (Riwayat Ibnu
Sa’ad dan lainnya).
Hammad berkata lagi:
“Ayyub pernah membawa saya melewati jalan yang lebih jauh, maka sayapun
berkata: ‘Jalan ini lebih dekat!’ Beliau menjawab: ‘Saya menghindari kumpulan
orang-orang di jalan tersebut.’ Dan memang apabila dia memberi salam, akan
dijawab oleh mereka dengan jawaban yang lebih baik dari jawaban kepada yang
lainnya. Dia berkata: ‘Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak
menginginkannya! Ya Allah sesungguhnya Engkau mengetahui bahwa aku tidak
menginginkannya!’” (Riwayat Ibnu Sa’ad (7/248) dan Al Fawasi (2/239-pada
penggal yang terakhir). Atsar ini shahih).
Kita berlindung kepada
Allah dari penyakit riya’. Semoga Allah menjadikan kita seorang mukhlishah,
senantiasa berusaha untuk menjaga niat dari setiap amalan yang kita lakukan.
Innamal ‘ilmu ‘indallah. Wa’allahu a’lam.
Posted by : Soulmate
Source :
muslimah.or.id