Searching...
Kamis, 19 September 2013
16.42

Keanehan Kalender Masehi

Mungkin sedikit yang tau bahwa pada kalender Masehi pernah terjadi tanggal yang dimajukan dari Kamis 4 Oktober, besoknya menjadi Jumat 15 Oktober. Mengapa demikian? Kita lihat pelan-pelan di sini ....
  




Dalam pandangan Islam, waktu sangatlah penting bahkan sakral. Dalam arti, waktu adalah ciptaan Allah dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengannya merupakan ketetapan Allah. Hal ini dapat dilihat dari betapa banyaknya penyebutan waktu dalam Al-Qur’an. Allah SWT adalah Tuhan pemilik waktu subuh (Rabbul falaq) dan Allah berkali-kali bersumpah dengan menyebut satuan waktu tertentu hingga keseluruhannya.

Allah bersumpah dengan menyebut hari (wal yaumi) waktu malam (wal laili), waktu siang (wan nahari), waktu fajar (wal fajri), waktu dhuha (wadh dhuha), bahkan dengan menyebut keseluruhan waktu (wal `ashri). Selain dalam bentuk sumpah, lebih banyak lagi waktu yang Allah SWT sebutkan dalam Al-Qur’an.




Kalender Masehi problematis
Namun dalam praktik kehidupan manusia, dari dulu hingga sekarang, terjadi banyak sekali perubahan atau tepatnya penyimpangan yang dilakukan manusia terkait waktu. Barangkali banyak orang saat ini yang tidak sadar, bahwa penanggalan atau kalender Masehi yang berlaku sebenarnya problematis. Ia telah banyak mengalami perubahan yang dasarnya hanyalah kepentingan manusia, bahkan sekelempok manusia tertentu.
Mari kita lihat kembali sejarah penanggalan Masehi yang dijadikan acuan penentu waktu dunia saat ini. Darmawan Abdullah, penulis buku Jam Hijriyah: Menguak Konsepsi Waktu dalam Islam, menjelaskan bahwa penanggalan dan perhitungan hari tahun Masehi, lahir dari rahim astrologi yakni ilmu tentang pergerakan benda-benda langit seperti matahari, bulan dan rasi bintang. Astrologi yang berasal dari Mesapotamia, daratan di antara sungai Tigris dan Eufrat, daerah asal orang Babel kuno (kini Irak Tenggara). Ilmu ini berkembang sejak zaman pemerintahan Babel kuno, sekitar tahun 2000 SM.
Sejarah penanggalan Masehi memiliki akar dan ikatan yang kuat dengan tradisi astrologi Mesir kuno, Mesopotamia, Babel, Yunani Kuno, dan Romawi Tua serta dalam perjalanannya mendapat intervensi Gereja. Tarikh yang berdasarkan sistem matahari ini sebelum sempurna menjadi seperti yang kita kenal saat ini, mengalami sejarah cukup panjang.
Tarikh orang Romawi, awalnya hanya 10 bulan saja, dari Maret hingga Desember. Nama-nama bulan terkait erat dengan nama-nama dewa bangsa Romawi. Misalnya, bulan Martius (Maret) mengambil nama dewa Mars, bulan Maius (Mei) mengambil nama dewa Maia, dan bulan Junius (Juni) mengambil nama dewa Juno. Sedangkan bulan-bulan lainnya diambil berdasarkan angka urutan susunan bulan. Awalnya, tahun baru ditetapkan pada bulan Maret, yang ditandai sebagai awal musim semi. Kemudian berkembang menjadi 12 bulan, setelah ditambah Januari dan Februari.
Sementara waktu berjalan terus dan tarikh yang sudah tampak sempurna itu, lama-lama memperlihatkan kemelesetan juga. Jika pada zaman Julius Caesar jatuhnya musim semi mundur hampir 3 bulan, beberapa abad kemudian musim semi justru dirasakan maju beberapa hari dari patokan. Akhirnya kemelesetan itu dapat diketahui sebabnya, kala revolusi bumi yg semula dianggap 365.25 hari, ternyata tepatnya 365 hari, 5 jam, 56 menit kurang beberapa detik. Jadi, ada kelebihan menghitung 4 menit setiap tahun yang makin lama makin banyak jumlanya.
Atas kemelesetan itu, Paus Gregious XIII, pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582 melakukan koreksi dan mengeluarkan sebuah keputusan bulat: Pertama, Angka tahun pada abad pergantian, yakni angka tahun yang diakhiri dua nol, yang tidak habis dibagi 400, misal 1700, 1800 dan lain sebagainya, bukan lagi sebagai tahun kabisat.
Kedua, Untuk mengatasi keadaan darurat pada tahun 1582, diadakan pengurangan sebanyak 10 hari yang jatuh pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober 1582 itu, setelah tanggal tanggal 4 Oktober langsung lompat ke tanggal 14 Oktober.
Ketiga, Sebagai pembaharu terakhir, Paus Gregious XIII menerapkan 1 Januari sebagai tahun baru lagi. Berarti pada perhitungan rahib Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun baru bukan lagi 25 Maret seiring dengan pengertian Nabi Isa AS (Yesus) lahir pd tanggal 25, dan permualaan musim semi pada bulan Maret.
Dengan keputusan tersebut diatas, khususnya yg menyangkut tahun kabisat, koreksi hanya akan terjadi setiap 3323 tahun, karena dalam jangka tahun 3323 tahun itu kekuarangan beberapa detik tiap tahun akan terkumpul menjadi satu hari. Artinya, bila tidak ada koreksi, tiap 3323 tahun jatuhnya musim semi maju satu hari dari patokan. Dalam perkembangannya, tarikh masehi dapat diterima oleh seluruh dunia untuk perhitungan dan pendokumentasian waktu secara internasional.

Problem Greenwich Meridian Time
Penghujung tahun 1884, tepatnya jam 14.30, tanggal 22 Oktober, 41 delegasi dari 25 negara mengikuti Konferensi Internasional Meridian di ruang Diplomatik, State Departement, Washington DC. Dari negara Muslim hanya Turki yang ikut. Saat itu, wilayah –wilayah Muslim masih dijajah. Bahkan dari benua Asia, hanya Jepang dan Turki yang ikut. Hampir semua delegasi berasal dari Benua Eropa dan Amerika.
Tanpa kehadiran delegasi dari wilayah-wilayah Muslim, para peserta delegasi memutuskan secara aklamasi perlunya satu Meridian Utama atau meridian standar bafi seluruh negara. Kecuali Republik Dominica yang menolak dan Brazil yang Abstain, semua peserta delegasi sepakat menjadikan Meridian Utama itu adalah Greenwich. Konferensi itu juga menetapkan sebuah hari yang berlaku universal untuk seluruh dunia dan hari tersebut bermula saat pertengahan malam.
Keputusan Referensi tersebut merupakan kekalahan umat Islam dalam konteks peradaban dunia. Kaum Muslimin yang sebelumnya memliki tahun Hijriyah, bulan Hijriyah dan hari dalam Islam yang bermula saat matahari terbenam, menjadi terkalahkan. Umat Islam di seluruh dunia sekarang mengikuti “ jam masehi” yang harinya bermula tepat setelah jam 12 malam, saat matahari pada titik nadir. Padahal dalam penanggalan Islam, permulaan hari dimulai dari waktu terbenamnya matahari di ufuk barat.
Mereka juga kemudian menyepakati permulaan hari berawal dari Garis Tanggal Internasional (International Date Line-IDL), yaitu garis bujur atau meridian (timer atau barat) geografis 180, yang membentang dari Selat Bering di belahan bumi utara, melintasi kepulauan Fiji di wilayah tropis, hingga di sebelah timer New Zealand. Wilayah di sebelah barat IDL mengalami “hari baru” lebih awal daripada wilayah sebelah timur IDL.
Jika dikaji lebih mendalam, berdasarkan berbagai pustaka dan dokumen, lama penetapan awal-hari pada tengah malam dan “hari-baru” yang dimulai dari IDL tersebut sama sekali tidak memiliki landasan ilmiah (no scientific basic) ataupun landasan nash (no religious basic), melainkan hanya sekedar kesepakatan manusiawi (human consensus) yang sangat artifisial atau rekaan saja.
Kesepakatan mengenai penetapan “awal hari” dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada pukul 00:00:00 tengah malam tersebut bermula dari gagasan Standford Fleming berkebangsaan Canada dan Charles F. Dowd berkebangsaan Amerika, yang memperkenalkan sistem tata waktu GMT belakangan. Hingga hari ini belum pernah ada konvensi Internasional.

Kalender Jahiliyah
Seperti halnya penanggalan Masehi, kerancuan juga terjadi pada penanggalan bangsa Arab dan sekitarnya sebelum masa Islam. Bangsa Arab yang kala itu terpecah dalam suku-suku memiliki standar penanggalan yang berbeda antara satu sama lain. Penyebabnya tidak lain adalah kepentingan setiap suku untuk mendapat keuntungan dengan perubahan tersebut.
Ibnu Habib menyatakan bahwa suku Kinanah di antara yang memegang kendali perubahan kalender. Di Kinanah ada kelompok elit yang disebut Qalamisah, yang menjadi rujukan suku-suku Arab dalam menentukan bulan-bulan haram (suci). Mereka bisa mengundurkan bulan Muharram, misalnya, menjadi Shafar atau sebaliknya, bagi suatu suku tertentu agar mereka punya kebenaran untuk menyerang suku lain.
Tradisi ini tampaknya tidak hanya dilakukan Kinanah. Menurut Ath-Thabari dalam tafsir Jami`ul Bayan, berdasarkan keterangan Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak, bahwa hal yang sama juga dilakukan oleh suku Hawazin, Ghathafan dan Sulaim.
Ath-Thabari juga mengungkap cara lain Bangsa Arab dalam ‘mempermainkan’ penanggalan. Motivasinya tidak lain adalah kepentingan ekonomi yang ingin mereka raih pada musim haji. Dengan penanggalan yang berbasis lunar (bulan), waktu pelaksanaan haji dapat beralih dari musim ke musim. Kenyataan ini tentu tidak diinginkan oleh orang-orang Arab Jahiliyah, terutama ketika waktu haji bertepatan dengan musim paceklik sehingga hanya sedikit pedagang Arab yang datang ke Mekkah.
Untuk mengatasi persoalan di atas, bangsa Arab ‘mengakali’ penanggalan. Mereka menambahkan tujuh bulan dalam kurun waktu 19 tahun lunar, agar bilangannya sama dengan 19 tahun matahari. Artinya, ada tujuh tahun dalam kurun waktu tersebut yang bilangan bulannya menjadi 13 bulan. Dengan demikian, mereka bisa memastikan musim haji selalu bertepatan dengan iklim sedang dan kondisi perdagangan yang bergairah. 



lanjut ke - Kalender Hijriah Lebih Akurat


 
Back to top!