Mungkin sedikit yang tau bahwa pada kalender Masehi pernah terjadi tanggal yang dimajukan dari Kamis 4 Oktober, besoknya menjadi Jumat 15 Oktober. Mengapa demikian? Kita lihat pelan-pelan di sini ....
Dalam pandangan Islam, waktu sangatlah penting bahkan sakral. Dalam arti, waktu adalah ciptaan Allah dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengannya merupakan ketetapan Allah. Hal ini dapat dilihat dari betapa banyaknya penyebutan waktu dalam Al-Qur’an. Allah SWT adalah Tuhan pemilik waktu subuh (Rabbul falaq) dan Allah berkali-kali bersumpah dengan menyebut satuan waktu tertentu hingga keseluruhannya.
Dalam pandangan Islam, waktu sangatlah penting bahkan sakral. Dalam arti, waktu adalah ciptaan Allah dan ketentuan-ketentuan yang terkait dengannya merupakan ketetapan Allah. Hal ini dapat dilihat dari betapa banyaknya penyebutan waktu dalam Al-Qur’an. Allah SWT adalah Tuhan pemilik waktu subuh (Rabbul falaq) dan Allah berkali-kali bersumpah dengan menyebut satuan waktu tertentu hingga keseluruhannya.
Allah bersumpah
dengan menyebut hari (wal yaumi) waktu malam (wal laili), waktu siang (wan
nahari), waktu fajar (wal fajri), waktu dhuha (wadh dhuha), bahkan dengan
menyebut keseluruhan waktu (wal `ashri). Selain dalam bentuk sumpah, lebih
banyak lagi waktu yang Allah SWT sebutkan dalam Al-Qur’an.
Kalender Masehi problematis
Namun dalam
praktik kehidupan manusia, dari dulu hingga sekarang, terjadi banyak sekali
perubahan atau tepatnya penyimpangan yang dilakukan manusia terkait waktu.
Barangkali banyak orang saat ini yang tidak sadar, bahwa penanggalan atau
kalender Masehi yang berlaku sebenarnya problematis. Ia telah banyak mengalami
perubahan yang dasarnya hanyalah kepentingan manusia, bahkan sekelempok manusia
tertentu.
Mari kita lihat
kembali sejarah penanggalan Masehi yang dijadikan acuan penentu waktu dunia
saat ini. Darmawan Abdullah, penulis buku Jam Hijriyah: Menguak Konsepsi Waktu
dalam Islam, menjelaskan bahwa penanggalan dan perhitungan hari tahun Masehi,
lahir dari rahim astrologi yakni ilmu tentang pergerakan benda-benda langit
seperti matahari, bulan dan rasi bintang. Astrologi yang berasal dari
Mesapotamia, daratan di antara sungai Tigris dan Eufrat, daerah asal orang
Babel kuno (kini Irak Tenggara). Ilmu ini berkembang sejak zaman pemerintahan
Babel kuno, sekitar tahun 2000 SM.
Sejarah
penanggalan Masehi memiliki akar dan ikatan yang kuat dengan tradisi astrologi
Mesir kuno, Mesopotamia, Babel, Yunani Kuno, dan Romawi Tua serta dalam
perjalanannya mendapat intervensi Gereja. Tarikh yang berdasarkan sistem
matahari ini sebelum sempurna menjadi seperti yang kita kenal saat ini,
mengalami sejarah cukup panjang.
Tarikh orang
Romawi, awalnya hanya 10 bulan saja, dari Maret hingga Desember. Nama-nama
bulan terkait erat dengan nama-nama dewa bangsa Romawi. Misalnya, bulan Martius
(Maret) mengambil nama dewa Mars, bulan Maius (Mei) mengambil nama dewa Maia,
dan bulan Junius (Juni) mengambil nama dewa Juno. Sedangkan bulan-bulan lainnya
diambil berdasarkan angka urutan susunan bulan. Awalnya, tahun baru ditetapkan
pada bulan Maret, yang ditandai sebagai awal musim semi. Kemudian berkembang
menjadi 12 bulan, setelah ditambah Januari dan Februari.
Sementara waktu
berjalan terus dan tarikh yang sudah tampak sempurna itu, lama-lama
memperlihatkan kemelesetan juga. Jika pada zaman Julius Caesar jatuhnya musim
semi mundur hampir 3 bulan, beberapa abad kemudian musim semi justru dirasakan
maju beberapa hari dari patokan. Akhirnya kemelesetan itu dapat diketahui
sebabnya, kala revolusi bumi yg semula dianggap 365.25 hari, ternyata tepatnya
365 hari, 5 jam, 56 menit kurang beberapa detik. Jadi, ada kelebihan menghitung
4 menit setiap tahun yang makin lama makin banyak jumlanya.
Atas kemelesetan
itu, Paus Gregious XIII, pimpinan Gereja Katolik di Roma pada tahun 1582
melakukan koreksi dan mengeluarkan sebuah keputusan bulat: Pertama, Angka tahun
pada abad pergantian, yakni angka tahun yang diakhiri dua nol, yang tidak habis
dibagi 400, misal 1700, 1800 dan lain sebagainya, bukan lagi sebagai tahun
kabisat.
Kedua, Untuk
mengatasi keadaan darurat pada tahun 1582, diadakan pengurangan sebanyak 10
hari yang jatuh pada bulan Oktober. Pada bulan Oktober 1582 itu, setelah
tanggal tanggal 4 Oktober langsung lompat ke tanggal 14 Oktober.
Ketiga, Sebagai
pembaharu terakhir, Paus Gregious XIII menerapkan 1 Januari sebagai tahun baru
lagi. Berarti pada perhitungan rahib Katolik, Dionisius Exoguus tergusur. Tahun
baru bukan lagi 25 Maret seiring dengan pengertian Nabi Isa AS (Yesus) lahir pd
tanggal 25, dan permualaan musim semi pada bulan Maret.
Dengan keputusan
tersebut diatas, khususnya yg menyangkut tahun kabisat, koreksi hanya akan
terjadi setiap 3323 tahun, karena dalam jangka tahun 3323 tahun itu kekuarangan
beberapa detik tiap tahun akan terkumpul menjadi satu hari. Artinya, bila tidak
ada koreksi, tiap 3323 tahun jatuhnya musim semi maju satu hari dari patokan.
Dalam perkembangannya, tarikh masehi dapat diterima oleh seluruh dunia untuk
perhitungan dan pendokumentasian waktu secara internasional.
Problem Greenwich Meridian Time
Penghujung tahun
1884, tepatnya jam 14.30, tanggal 22 Oktober, 41 delegasi dari 25 negara
mengikuti Konferensi Internasional Meridian di ruang Diplomatik, State
Departement, Washington DC. Dari negara Muslim hanya Turki yang ikut. Saat itu,
wilayah –wilayah Muslim masih dijajah. Bahkan dari benua Asia, hanya Jepang dan
Turki yang ikut. Hampir semua delegasi berasal dari Benua Eropa dan Amerika.
Tanpa kehadiran
delegasi dari wilayah-wilayah Muslim, para peserta delegasi memutuskan secara
aklamasi perlunya satu Meridian Utama atau meridian standar bafi seluruh
negara. Kecuali Republik Dominica yang menolak dan Brazil yang Abstain, semua
peserta delegasi sepakat menjadikan Meridian Utama itu adalah Greenwich.
Konferensi itu juga menetapkan sebuah hari yang berlaku universal untuk seluruh
dunia dan hari tersebut bermula saat pertengahan malam.
Keputusan
Referensi tersebut merupakan kekalahan umat Islam dalam konteks peradaban
dunia. Kaum Muslimin yang sebelumnya memliki tahun Hijriyah, bulan Hijriyah dan
hari dalam Islam yang bermula saat matahari terbenam, menjadi terkalahkan. Umat
Islam di seluruh dunia sekarang mengikuti “ jam masehi” yang harinya bermula
tepat setelah jam 12 malam, saat matahari pada titik nadir. Padahal dalam
penanggalan Islam, permulaan hari dimulai dari waktu terbenamnya matahari di
ufuk barat.
Mereka juga
kemudian menyepakati permulaan hari berawal dari Garis Tanggal Internasional
(International Date Line-IDL), yaitu garis bujur atau meridian (timer atau
barat) geografis 180, yang membentang dari Selat Bering di belahan bumi utara,
melintasi kepulauan Fiji di wilayah tropis, hingga di sebelah timer New
Zealand. Wilayah di sebelah barat IDL mengalami “hari baru” lebih awal daripada
wilayah sebelah timur IDL.
Jika dikaji lebih
mendalam, berdasarkan berbagai pustaka dan dokumen, lama penetapan awal-hari
pada tengah malam dan “hari-baru” yang dimulai dari IDL tersebut sama sekali
tidak memiliki landasan ilmiah (no scientific basic) ataupun landasan nash (no
religious basic), melainkan hanya sekedar kesepakatan manusiawi (human
consensus) yang sangat artifisial atau rekaan saja.
Kesepakatan
mengenai penetapan “awal hari” dimulai dari meridian 180 derajat Greenwich pada
pukul 00:00:00 tengah malam tersebut bermula dari gagasan Standford Fleming
berkebangsaan Canada dan Charles F. Dowd berkebangsaan Amerika, yang
memperkenalkan sistem tata waktu GMT belakangan. Hingga hari ini belum pernah
ada konvensi Internasional.
Kalender Jahiliyah
Seperti halnya
penanggalan Masehi, kerancuan juga terjadi pada penanggalan bangsa Arab dan
sekitarnya sebelum masa Islam. Bangsa Arab yang kala itu terpecah dalam
suku-suku memiliki standar penanggalan yang berbeda antara satu sama lain.
Penyebabnya tidak lain adalah kepentingan setiap suku untuk mendapat keuntungan
dengan perubahan tersebut.
Ibnu Habib
menyatakan bahwa suku Kinanah di antara yang memegang kendali perubahan
kalender. Di Kinanah ada kelompok elit yang disebut Qalamisah, yang menjadi
rujukan suku-suku Arab dalam menentukan bulan-bulan haram (suci). Mereka bisa
mengundurkan bulan Muharram, misalnya, menjadi Shafar atau sebaliknya, bagi
suatu suku tertentu agar mereka punya kebenaran untuk menyerang suku lain.
Tradisi ini
tampaknya tidak hanya dilakukan Kinanah. Menurut Ath-Thabari dalam tafsir
Jami`ul Bayan, berdasarkan keterangan Ibnu Abbas dan Adh-Dhahhak, bahwa hal
yang sama juga dilakukan oleh suku Hawazin, Ghathafan dan Sulaim.
Ath-Thabari juga
mengungkap cara lain Bangsa Arab dalam ‘mempermainkan’ penanggalan. Motivasinya
tidak lain adalah kepentingan ekonomi yang ingin mereka raih pada musim haji.
Dengan penanggalan yang berbasis lunar (bulan), waktu pelaksanaan haji dapat
beralih dari musim ke musim. Kenyataan ini tentu tidak diinginkan oleh
orang-orang Arab Jahiliyah, terutama ketika waktu haji bertepatan dengan musim
paceklik sehingga hanya sedikit pedagang Arab yang datang ke Mekkah.
Untuk mengatasi
persoalan di atas, bangsa Arab ‘mengakali’ penanggalan. Mereka menambahkan
tujuh bulan dalam kurun waktu 19 tahun lunar, agar bilangannya sama dengan 19
tahun matahari. Artinya, ada tujuh tahun dalam kurun waktu tersebut yang
bilangan bulannya menjadi 13 bulan. Dengan demikian, mereka bisa memastikan
musim haji selalu bertepatan dengan iklim sedang dan kondisi perdagangan yang
bergairah.
lanjut ke - Kalender Hijriah Lebih Akurat