Dasar
kerancuan kalender dunia baik di masa lalu maupun sekarang adalah karena tidak
ada acuan yang jelas dalam menetapkannya, selain konsensus manusiawi, tepatnya
sebagian kelompok manusia, untuk kepentingan masing-masing.
Hal ini tidak
terjadi dalam kalender Hijriyah. Acuan kalender Hijriyah adalah nash yang
menetapkan hari Jum`at, tanggal 9 Dzulhijjah, pada tahun haji Wada
(10 Hijriyah), sebagai permulaan penaggalan yang paling akurat, sesuai dengan
ketetapan waktu yang diatur Allah SWT sejak menciptkan langit dan bumi.
Dalam rangkaian pidato yang disampaikan di Arafah, Mina, dan Mekkah selama
haji Wada, Rasulullah SAW menegaskan ketetapan penanggalan Islam yang harus
menjadi acuan seluruh umat. Di saat yang sama, beliau membatalkan sistem dan
praktik penanggalan Jahiliyah karena tidak sesuai dengan ketetapan Allah SWT.
Pada tanggal 10 Dzulhijjah, di sela-sela pidatonya, Rasulullah SAW
bertanya, “Wahai segenap manusia, hari apakah ini? Bukankah ini hari kurban?
Benar, ini hari kurban, hari haji akbar.” Hadis shahih riwayat Muslim, Ahmad,
Abu Daud, Ibnu Majah, dsb. Ini secara eksplisit menegaskan kebenaran
penanggalan hari itu sebagai hari kurban atau hari raya Idul Adha yang jatuh
pada tanggal 10 Dzulhijjah.
Pernyataan Rasulullah SAW di atas merupakan peringatan sekaligus penegasan
berlakunya penanggalan Islam sejak peristiwa agung tersebut. Dalam kesempatan
lain, sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Bazzar, dsb.,
Rasulullah SAW mengumumkan, “Sesungguhnya waktu telah berputar. Ia kembali
seperti saat Allah menciptakan langit dan bumi. Sesungguhnya bilangan bulan di
sisi Allah adalah dua belas bulan, empat di antaranya adalah bulan-bulan haram
(suci); tiga bulan berurutan ditambah Rajab Mudhar yang jatuh antara Jumada dan
Sya`ban. Satu bulan ada yang 29 hari dan ada yang 30 hari. Bukankah aku telah
menyampaikan ini? Ya Allah, saksikanlah!”
Dengan deklarasi tersebut, maka tidak boleh ada lagi yang ‘mempermainkan’
waktu. Sejak itu, berlakulah ketetapan sakral, bahwa satu tahun terdiri dari 12
bulan, setiap bulan terdiri dari 29 atau 30 hari, permulaan bulan adalah
munculnya hilal di atas ufuk, dan permulaan hari adalah terbenamnya matahari.
Allah menegaskan dasar perhitungan ini dalam Al-Qur’an,
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat)
bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan
perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian kecuali dengan hak.
Dia menjelaskan tanda-tanda kebesaran-Nya kepada orang-orang yang mengetahui.”
(QS Yunus: 5)
Greenwich MT versus Mekkah (MT)
Penggunaan
Kalender Masehi dengan GMT-nya, selain tidak mutlak benar, memberi banyak
dampak buruk dalam kehidupan Muslim, khususnya. Umat Islam dibuat bingung dan
acap kali lalai, bahkan abai dengan pengamalan ajaran-ajaran agamanya. Mulai
dari perhitungan awal bulan-bulan utama, seperti Ramadhan, Syawal, Dzulhijjah,
dan Muharram, yang selalu menjadi perdebatan musiman; penentuan hari-hari al-Bidh yang
sering terlupakan; hingga kerancuan istilah-istilah ibadah.
Dengan perhitungan GMT, seorang Muslim bisa mengerjakan shalat fardu empat
atau enam kali dalam sehari. Gambarannya begini, jika pada hari Senin tidak
sempat shalat Isya hingga tengah malam dan baru bisa mengerjakannya jam 01.00,
maka dalam perhitungan jam Masehi, shalat Isya tersebut ia kerjakan pada hari
Selasa dini hari. Jadi, pada hari Senin itu dia hanya shalat fardu empat kali.
Dan, jika pada hari Selasanya dia shalat Isya pada jam 20.00, berarti dia
shalat fardu enam kali di hari itu.
Belum lagi, berdasarkan perhitungan waktu Masehi, kaum Muslim tidak pernah
bisa mengerjakan shalat malam atau qiyamul lail. Karena shalat yang
sunnahnya dikerjakan setelah lewat tengah malam itu, dianggap dikerjakan di
waktu pagi! Begitu juga penggalan akhir malam yang terkait dengan ibadah atau
kondisi tertentu, seperti sahar (sahur), falaq, fajr (fajar),
dsb., semua itu dalam perhitungan waktu Masehi disebut pagi. Lailatul
qadr (malam qadar) di bulan Ramadhah yang begitu mulia, dalam
perhitungan Masehi hanya sampai jam 00.00. Karena setelah itu tidak lagi
disebut malam, melainkan pagi hari berikutnya.
Kembali kepada sistem penanggalan Islam (Hijriyah) adalah kebutuhan mutlak
dan sangat mendasar bagi umat Muslim. Setidaknya dalam penentuan bulan dan
satuan waktu dalam sehari semalam. Meski belakangan mencuat ide untuk mengubah
kordinat waktu dari Greenwich ke Mekkah, namun menurut Prof Moedji Raharto,
Pakar Astronomi ITB, hal tersebut tidaklah mudah. Karena negara-negara lain
butuh penyesuaian besar-besaran. Menurutnya, yang mendesak saat ini adalah
meneruskan perjuang ilmuwan Muslim untuk menghadirkan kalender Islam yang
sempurna dan memiliki kalendar dan waktu Islam yang legal sehingga bisa membawa
dampak positif dan maslahat bagi manusia.